Posts

Senja di Tengah Bara

  Senja di Tengah Bara Alif Nur Afrizal   Senja merambat pelan di langit Jawa, melukis semburat tembaga yang seakan mengingatkan bahwa hari telah lelah menahan tangis. Di tanah lapang yang berdebu, para prajurit pejuang berbaris rapi. Nafas mereka tersengal, tapi mata mereka menyala. Lonceng besi di sudut lapangan berdenting, tanda latihan senjata selesai. Di barisan depan, Kapten Hasan berdiri tegak, keringat mengalir di pelipisnya. Namun pikirannya tidak lagi di sini—ia terbang jauh, membayangkan rumah kecil beratap rumbia di tepi sawah. Di sana, Siti, istrinya, mungkin sedang menumbuk padi, dan Fatimah, anaknya yang baru genap tujuh tahun, pasti berlarian sambil memanggil ayam-ayam kampung. Suara komandan memecah lamunannya. "Kapten Hasan!" "Siap, Komandan!" Hasan menegakkan tubuh. "Latihan selesai untuk hari ini. Besok kita bersiap siaga, intel melaporkan Belanda mulai bergerak dari arah barat." Hasan mengangguk. "Siap, Komandan....

Langkah Sing Ngetutake

  Langkah Sing Ngetutake Jam dinding di kantor pesantren menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ustad Ridwan bangkit dari kursinya, menutup kitab Tafsir Ibnu Katsir yang sedang dibaca. Sudah waktunya ronda malam—rutinitas yang sudah dijalaninya selama lima tahun menjadi pengurus di Pondok Pesantren Daarut Taqwa. Dia mengambil senter dari laci meja dan menyelempangkan kunci kamar-kamar asrama. Angin malam bertiup sejuk, membuat dedaunan rimbun di halaman pesantren berdesir lembut. Suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan, menciptakan simfoni malam yang familiar di telinganya. "Bismillah," gumamnya pelan, memulai perjalanan keliling asrama. Ridwan memulai dari asrama putra bagian timur. Langkahnya pelan tapi pasti, sandal jepit berbunyi kecit-kecit di atas lantai keramik yang agak licin karena embun. Senter kecilnya menyorot ke setiap sudut, memastikan tidak ada santri yang masih berkeliaran. Kamar pertama—pintunya terbuka sedikit. Ridwan mengintip ke dalam. Lima santr...

Lari Malam yang Panjang

  Lari Malam yang Panjang Rifqi menggeliat di atas tikar pandan yang sudah lusuh, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Sudah hampir dua minggu ia mondok di Pesantren Al-Barokah, tapi rasanya seperti hidup di planet yang berbeda. Suasana asrama yang ramai, jadwal yang ketat, dan lingkungan yang masih asing membuatnya sulit beradaptasi. " Aduh , kapan sih bisa tidur nyenyak ," gerutunya dalam hati sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Di sebelahnya, santri-santri lain sudah terlelap dengan dengkuran yang bersahut-sahutan. Ada yang mendengkur halus, ada yang seperti gergaji memotong kayu. Suara-suara itu justru semakin membuat Rifqi gelisah dan tidak bisa memejamkan mata. Ia teringat rumahnya di Magelang, kamar pribadi yang sunyi, kasur empuk dengan sprei bergambar kartun kesukaannya. Sekarang ia harus berbagi ruangan dengan 20 santri lain, tidur di atas tikar tipis dengan bantal kapuk yang sudah kempes. " Wis lah , dari...

Kepala di Pohon Jambu

  Kepala di Pohon Jambu Laras sudah tidak tahan lagi dengan kehidupan di Pondok Pesantren Baitul Hikmah. Sudah tiga bulan ia menahan rindu yang mencekik dada, merindukan kebebasan yang dulu pernah dirasakannya di rumah. Setiap hari hanya berputar pada rutinitas yang sama: bangun subuh, shalat berjamaah, mengaji, sekolah, mengaji lagi, dan tidur. Tidak ada televisi, tidak ada musik, tidak ada teman-teman SMA yang dulu sering nongkrong di mal. Malam ini, tekadnya sudah bulat. Ia akan kabur dari pesantren. Jam dinding di kamar asrama menunjukkan pukul dua dini hari. Suara dengkuran halus santri-santri lain mengisi kesunyian kamar. Laras berbaring terjaga di kasur tipis, menatap langit-langit yang retak-retak. Hatinya berdebar kencang, antara takut dan semangat. Tas ransel kecil sudah ia siapkan di bawah kasur, berisi baju ganti, uang tabungan, dan handphone yang selama ini disembunyikan. Aku wis ora kuat , batinnya mantap. Mending mulih ae tinimbang stress ing kene. Dengan geraka...

Wit Ringin Sing Ngundang

  Wit Ringin Sing Ngundang Rintik hujan mulai turun ketika dr. Arman menerima telepon itu. Suara perempuan paruh baya di ujung sana terdengar panik. "Dokter, tolong... ada santri yang sakit parah di pesantren kami. Demamnya tinggi sekali, sudah tiga hari nggak mau makan." Arman melirik jam dinding. Pukul sepuluh malam. Dia baru saja selesai makan malam bersama istri setelah seharian melayani pasien di klinik. "Pesantren mana bu? Kok nggak dibawa ke puskesmas saja?" "Pesantren Al-Barokah, Dokter. Di Dukuh Kedungsari. Jalannya rusak, susah bawa mobil. Makanya kami mohon dokter yang datang ke sini." Arman terdiam sejenak. Kedungsari? Dia belum pernah mendengar nama desa itu, padahal sudah puluhan tahun praktik di daerah ini. "Baik bu, saya akan ke sana. Berikan alamat jelasnya." Sepuluh menit kemudian, Arman sudah mengendarai sepeda motornya menembus gerimis malam. Tas medis tergantung di punggungnya, senter kecil menyinari jalan yang semaki...

Madu untuk Yang Tak Terlihat

Image
  Madu untuk Yang Tak Terlihat Pak Harto mengayuh sepeda ontelnya dengan perlahan memasuki gang sempit yang menuju ke sebuah pesantren tua. Dua jerigen plastik berisi madu murni bergantung di kiri-kanan sepedanya, bergoyang-goyang mengikuti irama kayuhan yang pelan namun mantap. Sudah puluhan tahun ia berkeliling kampung menjajakan madu hasil ternak lebah miliknya sendiri. Siang itu terik matahari cukup menyengat, membuat keringat mengucur dari pelipisnya. Ia sempat ragu untuk masuk ke pesantren yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya, tapi dorongan rezeki membuatnya nekat mencoba peruntungan. " Lha , kok sepi banget ya?" gumamnya dalam hati sambil memperhatikan suasana pesantren yang sunyi senyap. Gerbang pesantren terbuka lebar, terbuat dari kayu jati tua yang sudah berwarna kehitaman. Di atas gerbang terpasang papan nama "Pondok Pesantren An-Nur" dengan tulisan Arab dan Latin yang sudah memudar dimakan waktu. Tidak ada penjaga di pos, bahkan tidak terlihat s...

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Tayamum

Image
  فَصْلٌ فِى التَّيَمُّمِ FASAL: TAYAMUM     SYARAT TAYAMUM (Fasal) Tayammum. Membahas penyebabnya, rukun-rukunnya, hukum-hukumnya, serta faktor-faktor yang dapat membatalkannya. Tayammum merupakan kemudahan (rukhsah) mutlak, tidak peduli apakah disebabkan oleh kekurangan air atau bukan, dan dianggap sebagai salah satu keistimewaan kita. (فَصْلٌ: فِي التَّيَمُّمِ) أَيْ أَسْبَابِهِ وَأَرْكَانِهِ وَأَحْكَامِهِ وَمُبْطِلَاتِهِ، وَهُوَ رُخْصَةٌ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ لِفَقْدِ الْمَاءِ أَوْ لَا وَمِنْ خُصُوصِيَّاتِنَا Dalam beberapa naskah, bab ini bahkan ditempatkan sebagai prioritas sebelum bab-bab sebelumnya. Mendahulukan mengusap muzah daripada tayammum dianggap lebih diutamakan, karena dengan cara ini, sejumlah tingkat kebersihan dapat dicapai, meskipun sebagian thoharoh lainnya membolehkan pelaksanaan banyak shalat, berbeda dengan tayammum yang hanya diperbolehkan untuk melaksanakan satu shalat fardhu, beber...